Dibalik Kesendirian Seorang Mu'min
Bila kita membaca sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita akan jumpai bahwa manusia teragung itu adalah orang yang paling banyak mengalami fase kesendirian dalam hidupnya. Sejak kesendirian ditinggal sang ayah, lalu ibunya, lalu ditinggal mati kakeknya, ditinggal mati istrinya, hingga kesendirian ditinggalkan kaumnya.
Sejarah banyak mencatat kesendirian orang-orang besar. Seperti kesendirian Hajar ibunda Ismail ‘alaihissalam ditengah sahara, kesendirian Yusuf ‘alaihissalam saat dilempar ke dalam sumur, kesendirian Maryam saat mengandung bayi Isa ‘alaihissalam, kesendirian Imam Ahmad di hari-hari fitnah. Juga kesendirian Ibnu Jauzy di dalam penjara dan masih banyak lagi.
Namun lihatlah buah dari kesendirian itu.
Hal ini seperti memberi penegasan lain pada kita bahwa kesendirian itu bukan duka maupun kesedihan. Bahkan bagi orang-orang besar, kesendirian bisa menjadi lebih bermakna dari kebersamaan.
Kesendirian bagi mereka, justru membawa pada kematangan jiwa hingga mereka berhasil mengurai rantai prestasi demi prestasi besar dalam hidupnya. Sebab mereka yakin bahwa dalam sepi ada Dzat yang takkan membiarkan mereka, yang selalu mendengar munajat mereka, yang tak pernah tidur atau lengah sedikitpun dari mengurusi hamba-hamba-Nya. Itulah mengapa kesendirian mereka menjadi berarti. Dan itulah makna kesendirian yang terkandung dalam pesan Ibnu Mas’ ud, radhiallahu anhu :
“Engkau adalah jamaah sekalipun engkau sendiri” atau dalam ungkapan Ibnu Taimiyah saat ia berada di balik jeruji penjara,